May 7, 2012

A Beautiful Mind


Film ini bercerita tentang John Nash yang diperankan oleh Russel Crowe sebagai seorang matematikawan peraih nobel. Perjalanan hidupnya dihadang oleh sebuah penyakit psikologis yang disebut skizofrenia. Penyakit ini ditandai dengan gejala – gejala seperti hilangnya kemampuan bersosialisasi, menarik diri dari pergaulan, delusi (keyakinan yang salah), dan halusinasi.

Film diawali saat John Nash masih menjadi seorang mahasiswa di perguruan tinggi ternama, Princeton. Sebagai mahasiswa, John termasuk unik. Dia tidak suka belajar dikelas. Lebih suka belajar secara otodidak. Mencari dan mengamati sekitar demi mendapatkan ide kreativitasnya secara alami, untuk meraih gelar doktornya.

Namun tak banyak yang menyadari, John juga merupakan penderita skizofrenia. Suatu penyakit mental yang gejalanya antara lain, tidak dapat membedakan antara halusinasi dan kenyataan, memiliki keyakinan yang salah atau delusi, menarik diri dari pergaulan, serta kemampuan bersosialisasinya menghilang. Penyakit John ini semakin parah saat dia mulai bekerja di Wheller Defense Lab di MIT, sebuah pusat penelitian bergengsi.

Di tengah persaingan ketat, Nash mendapat teman sekamar yang sangat memakluminya, Charles Herman yang memiliki keponakan seorang gadis cilik Marcee. Nash yang amat terobsesi dengan matematika sampai-sampai menulis berbagai rumus di kaca jendela kamar dan perpustakaan akhirnya secara tidak sengaja berhasil menemukan konsep baru yang bertentangan dengan teori bapak ekonomi modern dunia, Adam Smith. Konsep inilah yang dinamakannya dengan teori keseimbangan, yang mengantarkannya meraih gelar doktor. Mimpi Nash menjadi kenyataan. Tak hanya meraih gelar doktor, ia berhasil diterima sebagai peneliti dan pengajar di MIT.

Hidup Nash mulai berubah ketika ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri.

Alicia Larde, seorang mahasiswinya yang cantik, yang membuatnya sadar bahwa ia juga membutuhkan cinta. Ketika pasangan ini menikah, Nash justru semakin parah dan merasa terus berada dalam ancaman bahaya gara-gara pekerjaannya sebagai agen rahasia. Nash semakin hari semakin terlihat aneh dan ketakutan, sampai akhirnya ketika ia sedang membawakan makalahnya di sebuah seminar di Harvard, Dr Rosen seorang ahli jiwa menangkap dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari situlah terungkap, Nash mengidap paranoid schizophrenia. Beberapa kejadian yang dialami Nash selama ini hanya khayalan belaka. Tak pernah ada teman sekamar, Herman dan keponakannya yang menggemaskan, Marcee ataupun Parcher dengan proyek rahasianya.

Untungnya, Alicia adalah seorang istri setia yang tidak pernah lelah memberi semangat pada suaminya. Dengan dorongan semangat serta cinta kasih yang tidak pernah habis dari Alicia, Nash bangkit dan berjuang melawan penyakitnya.


ANALISA
Dari film tersebut dapat diketahui bahwa John Nash menderita skizofrenia paranoid, yang ditandai dengan simptom – simptom atau indikasi sebagai berikut: 

1. Adanya delusi atau waham, yakni keyakinan palsu yang dipertahankan.
- Waham Kejar (delusion of persecution), yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya, dalam film tersebut yaitu agen pemerintah dan mata – mata rusia. Waham ini menjadikannya paranoid, yang selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, serta diawasi.

- Waham Kebesaran (delusion of grandeur), yaitu keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting. John Nash menganggap dirinya adalah pemecah kode rahasia terbaik dan mata – mata atau agen rahasia.
- Waham Pengaruh (delusion of influence), adalah keyakinan bahwa kekuatan dari luar sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya. Adegan yang menunjukkan waham ini yaitu ketika disuruh membunuh istrinya, ketika disuruh menunjukkan bahwa dia jenius, dan ketika diyakinkan bahwa dia tidak berarti oleh para teman halusinasinya.

2. Adanya halusinasi, yaitu persepsi palsu atau menganggap suatu hal ada dan nyata padahal kenyataannya hal tersebut hanyalah khayalan. John Nash mengalami halusinasi bertemu dengan tiga orang yang secara nyata tidak ada yaitu Charles Herman (teman sekamarnya), William Parcher (agen pemerintah) dan Marcee (keponakan Charles Herman). Selain itu juga laboratorium rahasia, dan juga nomer kode yang dipasang pada tangannya.

3. Gejala motorik dapat dilihat dari ekpresi wajah yang aneh dan khas diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yg aneh. Indikasi ini sangat jelas ketika John Nash berkenalan dengan teman – temannya dan juga jika dilihat dari cara berjalannya.

4. Adanya gangguan emosi, adegan yang paling jelas yaitu ketika John Nash menggendong anaknya dengan tanpa emosi sedikitpun.

5. Social withdrawl (penarikan sosial), John Nash tidak bisa berinteraksi sosial seperti orang – orang pada umumnya, dia tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya sehingga dia hanya memiliki sedikit teman.

Stressor atau kejadian-kejadian yang menekan yang membuat skizofrenia John Nash bertambah parah, yaitu :
- Kalah bermain dari temannya
- Merasa gagal berprestasi untuk mendapatkan cita – citanya
- Merasa tidak dapat melayani istrinya
- Tidak bisa bekerja atau mendapatkan pekerjaan kembali

Karakter Pribadi John Nash, yaitu:
- Pemalu, introvert, penyendiri, rendah diri (merasa dirinya tidak disukai orang lain), kaku, tidak suka bergaul (tidak menyukai orang lain), penarikan diri dari lingkungan sosial.
- Dalam kenyataannya (cerita sebenarnya bukan di film ini) John Nash adalah pribadi yang pemarah, suka bermain wanita, keras, kaku dan antisemit.

Dalam film tersebut John Nash dibawa ke rumah sakit jiwa dan mendapatkan perawatan ECT (Electroshock Therapy) atau terapi elektrokonvulsif 5 kali seminggu selama 10 minggu. ECT merupakan terapi yang sering digunakan pada tahun 1940 – 1960 sebelum obat antipsikotik dan anti depresan mudah diperoleh. Cara kerja terapi ini yaitu mengalirkan arus listrik berdaya sangat rendah ke otak yang cukup untuk menghasilkan kejang yang mirip dengan kejang epileptik. Kejang inilah yang menjadi terapetik bukan arus listriknya. Sebelum dilakukan ECT pasien disuntikkan insulin sebagai pelemas otot yang akan mencegah spasme konvulsif otot-otot tubuh dan kemungkinan cedera. Efek samping penggunaan ECT adalah kelupaan atau gangguan memori. Efek samping ini dapat dihindari dengan menjaga rendahnya arus listrik yang dialirkan.

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, John Nash menjalani perawatan di rumah dengan Obat Psikoterapetik. Obat ini harus terus diminum secara teratur oleh penderita skizofrenia. Meskipun obat ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia, namun obat – obat antipsikotik akan membantu penderita untuk menghilangkan halusinasi dan konfusi, serta memulihkan proses berpikir rasional. Cara kerja obat – obat antipsikotik yaitu menghambat reseptor dopamin dalam otak. Efek dari pemakaian obat tersebut yaitu : Sulit berkosentrasi, menghambat proses berpikir, tidak memiliki gairah seksual.

Selain terapi biologis, John Nash juga mendapat terapi dari istrinya yaitu berupa dukungan sosial yang diberikan kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial (dengan tukang sampah), dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi Sosial ini sangat membantu penderita skizofrenia dalam menghadapi peristiwa – peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita.





Referensi

Maslim, Rusdi. 1995. ed. Buku Saku PPDGJ III, Jakarta.


May 6, 2012

Analisis Kasus Anders Behring Breivik


Anders Behring Breivik, pria 32 tahun berperawakan tinggi, dengan rambut pirang dan mata biru, dituding sebagai tersangka teroris di Norwegia.

Kejadian mengerikan pada 22 Juli itu diawali dengan aksi Breivik yang meledakkan sebuah bom dalam sebuah mobil barang di luar kantor pemerintah di Oslo. Dalam peritiwa awal itu, 8 korban jiwa melayang. Dua jam usai ledakan, dia kemudian pergi ke Pulau Utoya 30 kilometer dari Oslo dengan mengenakan seragam polisi dan melepas tembakan secara membabi-buta ke arah peserta perkemahan pemuda Partai Buruh Norwegia. Dalam serangan itu, 69 orang tewas, di antaranya 34 anak muda berusia antara 14 hingga 17 tahun. Puluhan lainnya menderita luka-luka. Breivik mengambil ide untuk memakai seragam polisi dalam melaksanakan pembantaian setelah membaca situs milik Al-Qaeda. Dia juga meniru cara-cara pembunuhan dengan menonton film dokumenter konflik Irak dan Afghanistan. "Yang paling sukses (organisasi teror) itu Al-Qaeda. Mereka melakukan aksinya dengan bom bunuh diri. Ini adalah kunci untuk menyukseskan resistensi," lanjutnya. Breivik menggambarkan bagaimana ia belajar sendiri untuk mematikan emosinya ketika ditanya jaksa perihal empati terhadap orang lain. "Kalian bertanya apakah saya punya empati dan emosi, kalian bisa berkata bahwa saya normal sejak saya pertama kali latihan, saat itu saya menghilangkannya melalui meditasi," ujarnya.

"Ini tentang kekejaman, aksi barbar. Saya telah mencoba untuk menjauhkan diri saya dari itu," tambahnya. Breivik mengatakan kepada pengadilan masalah yang dipertaruhkan adalah kebebasan berbicara. Menurutnya, sikap nasionalisme sudah dihilangkan sejak Perang Dunia Kedua. Dia terdorong untuk melakukan kekerasan setelah tidak berhasil dalam beberapa cara damai untuk mengumandangkan pandangannya tentang multikulturalisme. "Saya telah mencoba semua cara-cara damai, saya pribadi menemukan bahwa ini adalah sia-sia. Saya mencoba untuk melibatkan diri secara politik, menulis esai, dan tak bisa lolos ke editor. Kemudian hanya ada satu kemungkinan, yaitu kekerasan," kata Breivik. Ketika ditanya apakah ia menganggap serangan terornya adalah perbuatan seorang pengecut, Brevik malah mengatakan perbuatan itu "paling mulia" untuk menantang militer Norwegia.

Ia juga berharap bisa membunuh mantan Perdana Menteri Gro Harlem Brundtland dengan memenggal lehernya menggunakan pisau atau bayonet. Ia juga berencana akan memfilmkan pembunuhan tersebut dengan iPhone dan mengunggah video tersebut ke Internet. Breivik mengaku berkonsentrasi untuk membunuh orang di atas usia 18. Karena menurutnya pembunuhan terhadap orang yang lebih muda akan mendapat kecaman keras. Namun, ketika sebagian korban yang meninggal di bawah umur 18, Breivik tidak menyesali apa yang dilakukannya. "Saya akan melakukannya lagi," katanya. Breivik menggunakan video game "Modern Warfare 2" sebagai latihan untuk mengetahui medan. Dia juga sering bermain game online "World of Warcraft" hingga 16 jam sehari.
Sidang diperkirakan akan berlangsung hingga 10 minggu. Lippestad mengatakan penting kepada kliennya bahwa orang melihat dia sebagai waras. Anders Breivik mengaku tidak menyesali perbuatannya yang telah membantai puluhan orang. Pelaku pemboman dan pembunuhan massal di Norwegia ini, justru malah menyesali telah membunuh seekor tikus yang tidak sengaja dibunuhnya. Psikiater Ulf Aasgard mengatakan, "Hal ini umum bagi orang untuk bersikap positif terhadap hewan, tapi memiliki perasaan yang berlawanan tentang manusia." "Tapi hal ini adalah kasus paling ekstrim yang pernah saya dengar." Melihat gelagatnya yang tidak beres, beberapa waktu lalu, pengaca Breivik, Geir Lippestad, menyatakan tampaknya kliennya memiliki kelainan jiwa. Pengadilan sendiri memutuskan untuk melakukan pemeriksaan kejiwaan Breivik. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dia gila, maka ia akan dibawa ke ruang perawatan kejiwaan.  Dan jika ia tidak gila, ia akan dipenjara dengan ancaman hukuman selama 21 tahun.

Anders Behring Breivik dinyatakan tidak waras. "Kesimpulan dari para ahli jiwa adalah bahwa Anders Behring Breivik gila," kata jaksa Svein Holden. Menurut para ahli kejiwaan yang ditunjuk oleh pihak pengadilan, saat menjalankan aksinya pada Juli lalu itu, Breivik dalam keadaan tidak waras. Pria berusia 32 tahun itu mengidap paranoid schizophrenia dimana semua tindakan dan pikirannya diatur oleh delusi. Breivik meyakini ia telah dipilih untuk menyelamatkan rakyat Norwegia. Dia juga meyakini bahwa dirinya adalah sosok yang berhak menentukan siapa yang harus mati dan siapa yang harus hidup. "Mereka menyimpulkan bahwa Anders Behring Breivik selama jangka waktu yang panjang telah mengembangkan gangguan mental schizophrenia paranoid, yang telah mengubah dirinya dan membuatnya menjadi orang seperti sekarang ini," terang Holden.

Namun, kesimpulan para ahli kejiwaan ini bertentangan dengan komentar yang dibuat oleh kepala dewan setelah serangan. Dr Tarjei Rygnestad pada saat itu mengatakan kepada Associated Press bahwa tidak mungkin Breivik akan dinyatakan secara hukum gila karena serangan itu begitu hati-hati direncanakan dan dieksekusi.
Meski dinyatakan tidak sehat secara kejiawaan, Breivik masih akan menjalani persidangan pada April tahun depan dalam kasus ledakan bom di Oslo dan penembakan puluhan orang di Pulau Utoya. Breivik sendiri telah mengakui dakwaan yang dijatuhkan kepadanya namun menegaskan dirinya tidak bersalah. Dalam sidang sebelumnya, Breivik mengatakan dia datang ke Pulau Utoya yang saat itu dipenuhi pemuda yang tengah mengikuti perkemahan pemuda Partai Buruh.

Sebelum menembak korban pertamanya, Breivik menuturkan dia mendengar ’100 suara’ di kepalanya agar mengurungkan niatnya itu. Namun, setelah sempat ragu, dia akhirnya menembak dua korban pertamanya di kepala dan terus berjalan. Breivik menjelaskan dia mengisi ulang senjatanya saat kehabisan peluru. “Semua memohon agar tidak dibunuh. Saya tembak mereka semua di kepala,” kata Breivik. Beberapa orang, lanjut Breivik, berpura-pura mati namun dia mengetahuinya dan tetap menembak mereka. Breivik melanjutkan aksinya di sekeliling pulau. Dia membujuk para pemuda itu keluar dari persembunyiannya dengan mengatakan bahwa dia adalah polisi yang datang untuk melindungi mereka.

Analisis kriteria skizofrenia didalam kasus Anders Behring Breivik:

-      Thought echo
   isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan. Dalam kasus ini berupa Breivik memiliki pikiran terorisnya itu merupakan aksi kemanusiaan yang mempermasalahkan multikulturalisme dinegara norwegia. Dan pikirannya ini yang membuat pemberontakan Breivik terjadi dan berpikir bahwa perbuatannya ini adalah perbuatan yang paling mulia.

-      Halusinasi
    suara halusinasi yang beromentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien. Dalam kasus ini terihat pada saat Breivik menuturkan dia mendengar ’100 suara’ di kepalanya agar mengurungkan niatnya itu. Namun, setelah sempat ragu, dia akhirnya menembak dua korban pertamanya di kepala dan terus berjalan.

- Gangguan afektif 
Breivik menjelaskan bahwa dirinya sudah tidak memiliki empati lagi, terlihat setelah kejadian tersebut Breivik tidak merasa bersalah kepada para korban dan menunjukan efek datar saja saat bertemu keluarga korban. 



SUMBER:
 http://maskolis.blogspot.com/2011/07/sosok-misterius-anders-behring-breivik.html 
http://metrotvnews.com/read/news/2012/04/20/88626/Anders-Behring-Breivik-Belajar-dari-Al-Qaeda/7 
http://www.faktapos.com/internasional/13725/teroris-norwegia-divonis-gila